Sepanjang sejarah kemanusiaan ada dua konsep penting dalam hidup yang memiliki nilai universal. Konsep itu adalah keadilan dan pendidikan. Setiap sudut di bumi ini mengartikannya secara seragam dimana keadilan merupakan sikap dalam menempatkan sesuatu pada tempatnya secara proporsional. Sedangkan pendidikan adalah upaya pembebasan manusia dari kebodohan dengan jalan memanusiakan manusia.
Keadilan sendiri merupakan bagian dari komponen hak asasi yang teramat sulit ditegakkan selama itu masih ada tirani dan belenggu sistemik. Berbeda halnya dengan pendidikan yang bisa kita upayakan dengan berbagai pendekatan. Namun pendidikan saat ini sering kali kita kaitkan dengan proses formal berjenjang yang cenderung kaku bahkan saklek. Terlebih lagi jika bersinggungan dengan persoalan ekonomi maka yang terjadi adalah penolakan secara pragmatis oleh kalangan masyarakat bawah. Asumsinya tidak lain bahwa pendidikan hanya milik orang berduit.
Sekilas yang terjadi memang demikian meski pada kenyataannya ada banyak wajah pendidikan dengan pendekatan yang sama-sama konstruktif. Betul ada? Salah satunya adalah belajar tersenyum (baca juga: ramah). Tersenyum itu mendidik kita untuk melatih kecerdasan emosional dalam kesabaran. Melatih kita untuk memanipulasi situasi eksternal kedirian manusia (psikologi antar-personal). Bahkan dari segi agama dan beberapa keyakinan di seantero dunia tersenyum bagian dari ibadah. Ibadah karena dengan tersenyum bagi lingkungan merupakan simbol persahabatan.
Tersenyum membuat kita memandang isi dunia dengan hati dan kepala dingin. Sejarah dan kisah-kisah membuktikan sebuah senyuman (keramahan) mampu membuat seorang Yahudi buta luluh hatinya hingga memeluk keyakinan orang yang paling ia benci, Nabi Muhammad. Keramahan dan senyum juga yang membuat seorang Cleopatra berhasil sebagai seorang diplomat menundukkan pedang-pedang terhunus ksatria Roma.
Menjadi ramah dan murah senyum adalah penolong sekaligus senjata ampuh yang mudah diperoleh. Tidak membutuhkan biaya dan tidak memiliki jenjang yang rigid. Maka tersenyumlah seikhlasmu. Jadilah manusia ramah, lalu hidupkan kembali sikap-sikap bertoleransi karena diluar sana kekuatan yang akan menggerus budaya persahabatan telah menunggu.
Cohesive Force, demikian orang-orang dari dunia belahan barat menyebut kekuatan mengerikan itu. Egosentris atau individualis adalah kata lain untuk kita yang awam ini. Berhati-hatilah karena saat kekuatan itu tiba sebuah senyuman akan dianggap pamrih. Keramahan pun tak ubahnya tipu muslihat bagi mereka yang sudah terjangkit. Tidak akan ada lagi sahabat sejati, yang tersisa adalah kepentingan dan musuh abadi.
Just Smile, You Don't Cry ^___^
Post a Comment
Post a Comment